Advertisement here

Menguak Rahasia Cendawan Penangkal Hama

HARI masih pagi. Yusmani Prayogo, 43, terlihat sibuk melakukan pengamatan terhadap serangga kepik cokelat di Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian (Balitkabi), Malang, Jawa Timur, Jumat (3/2).

Di ruang laboratorium itu terdapat sekitar 10 rumah kasa sebagai media penelitian. Semua tertata rapi di atas lemari. Dua rumah kasa lainnya berisi kepik cokelat. Berbagai macam serangga yang sudah dikeringkan juga terlihat di dalam wadah plastik.

"Rumah kasa ini menjadi media pengembangbiakan kepik cokelat atau Riptortus linearis," tegas Yusmani kepada Media Indonesia.

Menurut peneliti madya hama dan penyakit ini, kepik cokelat merupakan salah satu hama utama tanaman kedelai yang dapat menyebabkan kerugian hasil panen.

Hama pengganggu jenis itu memang bukan satu-satunya karena ada sejumlah hama lain pengisap polong yakni kepik hijau (Nezara viridula), kepik hijau pucat (Piezodorus hybneri), dan penggerek polong (Etiella spp).

Sebagai peneliti bidang patogen serangga (penyakit serangga), Yusmani memiliki ketertarikan besar terhadap cendawan entomopatogen. Ia mengeksplorasi setidaknya tujuh jenis cendawan yang berpotensi mampu membunuh serangga secara efektif. Cendawan itu adalah Lecanicillium lecanii dengan 45 isolat yang diperolehnya sejak 2005 dari berbagai daerah di Indonesia.

"Hasil pengujian di laboratorium dan di lapangan menyebutkan bahwa cendawan mampu membunuh telur hama secara efektif," ujarnya.

Koloni cendawan yang diteliti tersebut berwarna putih pucat dengan diameter berkisar 4,0-7,3 cm setelah 20 hari inokulasi pada media potato dextrose agar.

Koloni mampu tumbuh pada media yang berasal dari beras dan mudah berkembang secara baik pada suhu 15-30 derajat celsius. Pertumbuhan optimal terjadi pada suhu 25 derajat celsius dan kelembapan lebih dari 90%.

"Kelembapan yang tinggi berfungsi untuk perkecambahan konidia dan proses infeksi terhadap serangga inang. Konidia akan berkecambah lebih cepat pada suhu 20-25 derajat celsius," katanya.

Kepik vs cendawan

Setelah menyadari hasil positif itu, Yusmani mengembangbiakkan serangga di laboratorium Balitkabi dalam jumlah banyak untuk memenuhi ketersediaan secara terus-menerus, selain perbanyakan cendawan itu sendiri.

Namun, proses penelitian tidak berjalan mulus. Kendala mulai ditemui yakni jumlah serangga terkadang kurang mencukupi maupun virulensi cendawan yang kurang stabil.

"Segi ketersediaan serangga sangat berpengaruh terhadap kelangsungan penelitian karena untuk menyediakan jumlah serangga yang banyak harus dipelihara dengan jumlah pakan yang tersedia terus-menerus dalam jumlah cukup," imbuhnya sambil menunjukkan kepik cokelat di rumah kasa.

Kegiatan itu ditelateni Yusmani sejak tujuh tahun silam, termasuk melakukan survei persebaran kepik cokelat di sentra produksi kedelai di seluruh wilayah Indonesia. Tujuannya agar dapat menghasilkan biopestisida yang ramah lingkungan.

"Kepik cokelat mengindikasikan memiliki populasi dan daerah sebaran paling luas jika dibandingkan dengan hama lainnya," ujarnya.

Pestisida kimia

Selain itu, dijumpai permasalahan mendasar di tingkat petani bahwa teknologi pengendalian hama masih banyak menggunakan insektisida kimia. Kebiasaan tidak ramah lingkungan tersebut dianggap merugikan karena hasilnya tidak optimal, hanya berlangsung sesaat dan justru memicu timbulnya peledakan hama yang sulit dikendalikan.

Menggunakan insektisida kimia, lanjut Yusmani, berpotensi membunuh predator atau musuh alami hama utama tanaman kedelai. Dampak terparah adalah sering dilaporkan bahwa residu meracuni manusia, hewan ternak, serta mencemari sumber air dan lingkungan. Apalagi dapat menimbulkan berbagai penyakit kanker dalam rentang waktu yang lama.

"Kami mendorong praktik budi daya pertanian di masa sekarang dan mendatang harus bertumpu pada pertanian yang memedulikan kelestarian lingkungan," tegas Yusmani.

Meskipun setuju penggunaan insektisida kimia, Yusmani mengingatkan penggunaannya tetap harus terbatas pada kondisi gawat atau sangat diperlukan saja. Yakni ketika teknik pengelolaan hama sudah tidak mampu lagi menangkal kerusakan hama hingga di bawah ambang kendali.

Oleh karena itu, mengoptimalkan peran agen hayati melalui cendawan entomopatogen berpotensi sangat besar untuk dikembangkan sebagai solusi pertanian organik ramah lingkungan guna meningkatkan ekonomi petani.

Sulit berkembang

Kenyataannya sekarang, potensi pemanfaatan musuh alami tersebut sulit berkembang. Padahal keberadaannya di lapangan sangat berlimpah dan sudah dikenal sejak zaman Belanda.

Pasalnya, ahli patogen serangga di Indonesia dan pakar bidang tersebut dapat dihitung dengan jari.

Kenyataan itu semakin menyemangati alumni doktor bidang entomologi Institut Pertanian Bogor (IPB) yang memaknainya sebagai peluang. "Lecanicillium lecanii merupakan biopestisida dari kelompok cendawan entomopatogen yang sudah dapat diaplikasikan secara besar-besaran untuk mengendalikan berbagai jenis hama dan penyakit," tuturnya.

Berdasarkan kajian ilmiah, lanjutnya, hasil survei di berbagai lokasi menunjukkan bahwa cendawan entomopatogen Lecanicillium lecanii dapat digunakan sebagai pengendali kepik cokelat.

Potensi pengembangannya pun terbuka lebar karena cendawan jenis itu memiliki kisaran inang cukup luas dan bersifat kosmopolit yang mudah dijumpai di daerah tropis dan subtropis.

Keunggulan

Secara alami, cendawan ini terbukti ampuh menginfeksi hama walang sangit yang menyerang tanaman jagung di Probolinggo, Jawa Timur, pada 2005 yang aplikasinya muncul secara tidak sengaja.

Saat itu, petani belum menyadari bahwa cendawan bisa digunakan sebagai pengendali hama. Tapi kasus yang ditemukan itu menjadi pengalaman berharga dan digunakan sebagai pintu masuk penelitian ini.

Cendawan yang diteliti Yusmani juga mampu mengendalikan jenis serangga inang meliputi beberapa ordo termasuk sejumlah serangga, di antaranya jenis belalang, kupu-kupu, kumbang, dan kutu kebul. Adapun efektivitas pengendalian dengan mortalitas mencapai 52%-100%.

Itu sebabnya bioinsektisida ini menjadi solusi menguntungkan bagi petani. Pasalnya, hama kutu kebul dan serangga pengganggu lainnya kerap menjadi momok dan meresahkan selama dua tahun terakhir.

"Serangga itu menjadi kendala utama bagi seluruh tanaman pangan maupun hortikultura," kata Yusmani.

Cendawan, lanjut dia, juga memiliki keunggulan mampu menginfeksi semua stadia kepik cokelat mulai telur, nimfa maupun imago. Meskipun nimfa mampu menetas, akhirnya gagal berganti kulit hingga akhirnya mati. Serangga-serangga mati akibat toksin yang dihasilkan oleh cendawan. "Efikasinya mencapai 80%," katanya.

Untuk mencegah serangan hama, Yusmani menyarankan penyemprotan tiga kali sehari. Pengendalian juga bisa dikombinasikan melalui predator.

Hasil penelitian ini telah didaftarkan Yusmani di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia untuk memperoleh hak paten. Ia optimistis produk yang dia hasilkan dari serangkaian penelitian ini--dinamai Bio-Lec--akan dapat menjadi solusi mengurangi populasi hama dan meningkatkan hasil pertanian tanpa meninggalkan residu pada produk maupun pada pencemaran lingkungan. (M-3)

BIODATA Penulis : Bagus Suryo

Tempat, tanggal lahir : Trenggalek, 3 Maret 1968

Profesi : Peneliti madya hama dan penyakit di Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian (Balitkabi), Jl Raya Kendalpayak Km 08, PO BOX 66 Malang

Pendidikan : - S-3 Entomologi Institut Pertanian (2009) - S-2 Entomologi Institut Pertanian Bogor (2004) - S-1 Agronomi Institut Pertanian Bogor (1994)

Sumber : http://www.mediaindonesia.com/read/2012/02/08/296894/270/115/Menguak-Rahasia-Cendawan-Penangkal-Hama
Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url
Related Post
Budaya,Sekitar